Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010 ...!...Tuhan memberkati Kita Selalu (PDT. SUWARTO, S.SI)

Refleksi Menyambut Tahun 2010

Oleh : Fadil Abidin

Kembali kita tiba di ujung tahun, sebuah garis batas waktu imajiner yang terpampang di kalender yang sering dipakai untuk membatasi antara masa lalu dan masa yang akan datang.

Sebuah momentum yang dapat digunakan untuk mengubur hal-hal yang tidak baik di tahun sebelumnya untuk kemudian menatap optimis ke tahun depan. Meski kita tahu bahwa tidak perlu menunggu satu tahun untuk melakukan perubahan-perubahan dalam hidup, sebab setiap saat adalah perubahan.

Setiap awal tahun kita akan menghadapi bulan Januari. Dalam mitologi Romawi Kuno, dikenal seorang dewa berwajah dua. Satu menghadap ke depan dan satunya ke belakang.
Untuk menentukan mana yang depan atau belakang, ditandai dengan wajah yang menghadap depan selalu tersenyum dan optimis, sedangkan yang menghadap ke belakang selalu terlihat muram dan sedih. Dewa itu bernama Janus, yang bisa pula berarti pintu, gerbang, gapura atau lorong masuk.

Itulah mengapa bulan pertama setiap tahun dinamakan dengan bulan Januari, Januarius mensis (Latin, bulan Januari) Dan bulan ini bisa dikatakan berwajah dua. Wajah yang satu menghadap ke tahun sebelumnya dan lainnya ke tahun berjalan.

Dewa Janus dikatakan bermuka dua, namun bermuka dua dalam konteks waktu pun dapat kita jalankan. Setiap awal tahun kita biasanya memiliki resolusi tahun baru yang didapatkan dari dualisme masa yaitu masa lampau dan masa mendatang (dengan berpijak dari masa lampau, kita akan meraih masa depan) dan mengisi waktu diantaranya. Berjuang dalam masa kini.

Asal Mula Nama-nama Bulan

Dalam sistem penanggalan kalender Masehi atau Gregorian, satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Kentalnya hubungan antara kalender Masehi dengan kepercayaan paganisme (kepercayaan menyembah patung atau dewa) bangsa Romawi Kuno bisa dilihat dari nama-nama yang dipergunakan.

Penyebutan nama-nama bulan dipersembahkan untuk menghormati para dewa dan sebagai tanda untuk memuja dewa-dewa tertentu. Perlu diketahui bahwa kalender Masehi sudah beberapa kali mengalami revisi, penambahan dan penyempurnaan. Karena pada awalnya kalender tersebut berasal dari kalender Romawi yang hanya mengenal sepuluh bulan dalam setahun, awal tahun baru dimulai pada bulan Maret.

Hal ini berkaitan erat dengan musim dan pengaruhnya kepada tata kehidupan masyarakat di Eropah. Bulan Maret (tepatnya 21 Maret) adalah permulaan musim panas (equinox musim panas). Awal musim panas disambut dengan perayaan sukacita karena dipandang sebagai bermulanya kehidupan baru, setelah selama 3 bulan mengalami musim dingin.

Jadi, kedatangan musim panas ini dirayakan sebagai ‘perayaan tahun baru setiap tahun’. Jadi secara kronologis kita tidak bisa menyamakan persamaan antara tanggal di masa lalu dengan di masa sekarang. Tanggal 1 Januari di zaman Julius Caesar tentu berbeda kronologisnya di zaman sekarang.

Januari, merupakan bulan pertama dalam tahun Masehi. Berasal dari nama Dewa Janus, Dewa bermuka dua, yang satu menghadap ke depan dan yang satunya menghadap ke belakang. Dewa Janus disebut juga sebagai Dewa Pintu. Februari, merupakan bulan kedua dalam tahun Masehi. Berasal dari nama dewa Februs, Dewa Penyucian.

Maret, merupakan bulan ketiga dalam tahun Masehi. Berasal dari nama Dewa Mars, Dewa Perang. Pada mulanya, Maret merupakan bulan pertama dalam kalender Romawi, lalu pada tahun 45 SM Julius Caesar menambahkan bulan Januari dan Februari di depannya sehingga menjadi bulan ketiga. April, merupakan bulan keempat dalam tahun Masehi.

Berasal dari nama Dewi Aprilis, atau dalam bahasa Latin disebut juga Aperire yang berarti ”membuka”. Diduga kuat sebutan ini berkaitan dengan musim bunga dimana kelopak bunga mulai membuka. Juga diyakini sebagai nama lain dari Dewi Aphrodite atau Apru, Dewi Cinta orang Romawi.

Mei, merupakan bulan kelima dalam kalender Masehi. Berasal dari nama Dewi Kesuburan Bangsa Romawi, Dewi Maia. Juni, merupakan bulan keenam dari tahun Masehi. Berasal dari nama Dewi Juno.

Juli, Merupakan bulan ketujuh dari tahun Masehi. Di bulan ini Julius Caesar lahir, sebab itu dinamakan sebagai bulan Juli. Sebelumnya bulan Juli disebut sebagai Quintrilis, yang berarti bulan kelima dalam bahasa Latin. Hal ini dikarenakan kalender Romawi pada awalnya menempatkan Maret sebagai bulan pertama.

Agustus, merupakan bulan kedelapan dalam kalender Masehi. Seperti juga nama bulan Juli yang berasal dari nama Julius Caesar, maka bulan Agustus berasal dari nama kaisar Romawi, yaitu Agustus. Pada awalnya, ketika Maret masih menjadi bulan pertama, Maret menjadi bulan keenam dengan sebutan Sextilis.

September, merupakan bulan kesembilan dari tahun Masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa Latin Septem, yang berarti tujuh. September pada awalnya merupakan bulan ketujuh dalam kalender Romawi.

Oktober, merupakan bulan kesepuluh dari tahun Masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa Latin Octo, yang berarti delapan. Oktober merupakan bulan kedelapan dalam kalender Romawi.

November, merupakan bulan kesebelas dari tahun Masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa Latin Novem, yang berarti sembilan. November merupakan bulan kesembilan dalam kalender Romawi.

Desember merupakan bulan keduabelas atau bulan terakhir dari tahun Masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa Latin Decem, yang berarti sepuluh. Desember pada awalnya merupakan bulan kesepuluh dalam kalender Romawi.

Dari penyebutan nama-nama bulan tersebut, kita menjadi tahu bahwa orang-orang zaman dahulu sebenarnya tidak mengenal konsep tahun, walaupun sudah mengenal penanggalan. Maka sesungguhnya bukan waktu, tanggal, bulan atau tahun yang penting tapi bagaimana kita menyikapi waktu yang kita lalui.

Bukan kegembiraan dengan pesta atau kemeriahan di tahun baru yang kita tunggu yang membuat momentum tahun baru sepertinya menjadi lebih istimewa. Karena pada hakikatnya penanggalan atau pergantian tahun tidak lebih dari sebuah garis batas imajiner untuk mengingatkan kita akan batas waktu yang akan segera berakhir untuk digantikan dengan periode masa selanjutnya.

Momentum untuk Mengevalusi

Beberapa waktu lagi kita akan tiba di penghujung tahun 2009 diganti dengan tahun 2010. Di setiap akhir tahun merupakan momentum yang tepat untuk mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan setahun ini.

Renungi, sadari dan lakukan yang lebih baik lagi untuk tahun depan. Waktu yang sudah berlalu takkan bisa kembali, itu sebabnya “Time is more important than money” daripada sekedar “Time is money“.

Jangan menyesali apa yang sudah terjadi bila itu adalah hal buruk, manusia tak punya kuasa untuk memutar balik waktu. Yang penting adalah apa yang akan kita lakukan ke depannya.

Brian Tracy, dalam bukunya “Change Your Thinking Change Your Life” menyebutkan: Di dalam hidup ini terdapat dua periode waktu , masa lalu dan masa depan. Masa kini hanyalah sebuah momen pendek yang segera berlalu. Oleh karena itu, Anda dapat memilih apakah anda ingin memfokuskan perhatian Anda pada apa yang telah terjadi – sesuatu yang tidak dapat Anda ubah; atau pada masa depan Anda – pada segala kemungkinan, dan pada keadaan-keadaan yang di dalamnya Anda memiliki kendali untuk merubahnya.

Sebuah kalimat yang sungguh inspiratif dan memberi motivasi yang tinggi. Memang, manusia tak luput dari kesalahan, karena itu, dari pada larut dalam penyesalan lebih baik kita mempersiapkan diri menghadapi tahun 2010 dengan penuh semangat dan optimisme.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.E-mail : fadila75@yahoo.com

Meditasi untuk Setiap Minggu Masa Adven

oleh: Romo Victor Hoagland, C.P.

Masa Adven. Empat minggu sebelum Natal merupakan masa persiapan, penantian serta pengharapan. Liturgi Adven menggemakan kembali dengan seruan kerinduan para nabi Yahudi: Sabda Yesus dan pewartaan Yohanes Pembaptis bahwa Tuhan sudah dekat. Dengarkanlah seruan mereka. Meditasi singkat atas Bacaan Injil selama Minggu Adven berikut ini semoga membantu kalian dalam mendengarkan suara mereka.



Minggu Advent IMINGGU ADVEN I

Yesus mengatakan kepada para muridnya: “Hati-hatilah dan berjaga-jagalah! … Kamu tidak tahu bilamanakah tuan rumah itu datang.” Markus 13:33

O Yesus, suara-Mu lantang menembus ruang-ruang hidupku:
"Hati-hatilah dan berjaga-jagalah!"

Namun demikian, hampir-hampir tak pernah aku mendengarkan-Mu. Aku sibuk dengan berbagai macam hal, sibuk ini dan itu, seperti seorang hamba terperangkap dalam rutinitas sehari-hari, hampir tak pernah aku memikirkan apa makna hidupku. Rohku sudah lelah, dan Engkau ya Tuhan-ku, terasa amat jauh. Bagaimana aku dapat mendengarkan suara-Mu hari ini?

Berbicaralah kepada jiwaku selama masa rahmat ini, seperti Engkau berbicara kepada para nabi-Mu dan para kudus-Mu. Ingatkan aku kembali akan panggilan hidupku dan akan pekerjaan yang Engkau kehendaki aku lakukan. Aku ini hambamu, ya Tuhan. Berbicaralah kepadaku pada masa yang kudus ini dan arahkan mataku untuk menantikan kedatangan-Mu.

O Imanuel, Yesus Kristus,
kerinduan setiap bangsa, Juruselamat segenap umat manusia,
datang dan tinggallah di antara kami.


Minggu Adven IIMINGGU ADVEN II

Ketika Yohanes Pembaptis menampilkan diri sebagai seorang pengkhotbah di tanah Yudea, inilah yang diserukannya:
"Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" Matius 3:2

O Yesus, di padang gurun yang sepi, nabi-Mu Yohanes mewartakan : Tuhan di sini, Tuhan ada bersamamu. Tuhan telah datang untuk mewujudkan suatu kerajaan dimana tak ada lagi ketidakadilan serta penderitaan, di mana air mata akan dihapuskan dan mereka yang berpaling kepada Tuhan akan menikmati perjamuan.

“Berpalinglah sekarang. Tuhan-mu berdiri di sampingmu. Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" Di gurun yang sepi Yohanes menyerukan kata-kata itu.

Berilah aku iman seperti Yohanes, ya Yesus, teguh percaya bahkan dalam kekeringan sekalipun bahwa Engkau dan kerajaan-Mu tidaklah jauh dariku. Buatlah hatiku teguh seperti hatinya, tak tergoyahkan oleh pencobaan-pencobaan atau pun terjerat oleh kesenangan-kesenangan palsu. Berilah aku keberanian untuk tetap setia hingga janji-janji-Mu digenapi.

O Raja segala bangsa, Yesus Kristus,
satu-satunya sukacita bagi setiap jiwa,
datang dan selamatkanlah umat-Mu.


Minggu Adven  IIIMINGGU ADVEN III

Murid-murid Yohanes bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?” Yesus menjawab mereka: “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir ... dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” Lukas 7:19,22

O Yesus, aku bersukacita atas tanda-tanda bahwa Engkau dekat dengan kami. Kuasa-Mu ada di mana-mana, andai saja aku mampu melihatnya.

Namun demikian, mataku lebih sering melihat hanya kegelapan dan ketidakpastian. Aku percaya kepada-Mu, tetapi jika aku memandang sekeliling, kejahatan tampak begitu kuat sementara kebaikan begitu lemah. Jika Engkau telah datang, mengapa masih saja ada begitu banyak penderitaan dan mengapa kaum miskin masih saja putus pengharapan? Di manakah mukjizat-Mu kini?

Rahmat-Mu, ya Tuhan, pada kenyataannya lebih berlimpah dari yang dapat aku bayangkan. Aku tahu, kuasa-Mu ada di mana-mana di sekelilingku, ah andai saja aku dapat melihatnya. Tunjukkan kepadaku sekarang di mana orang buta melihat dan orang lumpuh berjalan.

Jadikan penglihatanku lebih tajam dari semula.


Minggu Adven IVMINGGU ADVEN IV

Malaikat Gabriel berkata kepada Maria, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi….” Luk 1:30-32

O Yesus, aku percaya bahwa Engkau dilahirkan oleh Perawan Maria dan bahwa Engkau adalah Putra Allah.

Kedatangan-Mu yang penuh misteri ada di luar pengertian kami. Namun, seperti BundaMu yang kudus, Maria, aku rindu Engkau datang kepadaku, sebab Engkau sendiri telah menjanjikannya. Ijinkan aku melayani-Mu dengan segala cara yang aku mampu serta menyadari bahwa Engkau menyertaiku dari hari ke hari sepanjang hidupku.

Seperti Maria, BundaMu, meskipun aku hanya mengenal-Mu melalui iman, biarlah seluruh keberadaanku mewartakan keagungan-Mu dan rohku bersukacita oleh karena kasih-Mu kepadaku.

O Kebijaksanaan, Sabda Allah yang kudus, Yesus Kristus,
yang menggenggam segala sesuatu dalam tangan-Mu yang kuat namun lembut,
datanglah dan tunjukkan kepada kami jalan keselamatan.

sumber : “Meditations for Each Week of Advent” by Fr Victor Hoagland, C.P.; Copyright 1996, 1997, 2000 - The Passionist Missionaries; www.cptryon.org/prayer
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Victor Hoagland, CP.”

SEJARAH GKJ JEBRES

I. TAHUN 1948-AN MASA PERINTISAN

Di mulai awal tahun 1948 dimana sebagian warga Jebres (artinya warga setempat yang bertempat tinggal di wilayah Jebres) yang merupakan warga GKJ Margoyudan mengadakan kegiatan persekutuan, yang pada saat itu Prawoto menawarkan rumahnya di sebelah barat RS Zending yang sekarang RS. Moewardi untuk tempat persekutuan, karena satu dan lain hal dan juga karena tidak mempunyai tempat yang tetap. Tempat persekutuan pindah ke rumah Sumadi, yang menawarkan dan menyediakan rumahnya untuk tempat kegiatan persekutuan, yang sekarang menjadi PMI Solo. Kemudian pindah dengan menumpang di rumah Musion Elifas depan rumah Samsuri Purwoatmadja, tepatnya di depan Kelurahan Jebres yang sekarang. Terakhir menumpang di SMEP Kristen Purbowardayan yang sekarang menjadi SMEA Kristen milik PPKS.

Pada akhirnya kegiatan jemaat mengalami kevakuman cukup lama, namun dalam ibadahnya mereka tetap ke GKJ Margoyudan.

II. PERTUMBUHAN KELOMPOK KEBAKTIAN 1986-1987

Kegiatan persekutuan warga jebres setelah mengalami kevakuman yang agak lama, timbul suatu keinginan kembali dari warga kelompok Jebres 1 s/d 10 untuk dapat kembali beribadah di wilayah Jebres dengan menumpang di rumah Suradi RT.02/RW 32 seorang pensiunan ABRI. Maka pada bulan Agustus 1986 di Kandangsapi RT 02/RW 32 di rumah Suradi, setiap hari Rabu pukul 18.30 diadakan kebaktian doa (bidston). Kebaktian doa ini kemudian ditingkatkan menjadi kebaktian resmi pada hari Minggu. Karena dipandang baik dan lebih efektif oleh GKJ Margoyudan sebagai gereja induk, maka berdasarkan Keputusan Majelis GKJ Margoyudaan No. 92/F.6/GKJM/87 tanggal 27 Pebruari 1987 ditetapkan berdirinya Kelompok Kebaktian Jebres. Tentang kepengurusan dapt dilihat pada lampiran 1.

Namun baru pada tanggal 5 April 1987 Kelompok Kebaktian Jebres diresmikan dalam kebaktian perdana yang dilayankan oleh Pendeta Suwardi, SmTh. Peresmiaan dilakukan oleh Sukatmo, BA, atas nama Majelis GKJ Margoyudan, sedangkan Soejoko, selaku Kepala Kelurahan Jebres membuka papan nama Kelompok Kebaktian Jebres.

Karena pertumbuhan dan perkembangan warga bertambah banyak mulai terpikirkan untuk memiliki gedung ibadah sendiri. Usaha untuk memiliki gedung Gereja telah dirintis sejak bulan Agustus 1986. Akan tetapi usaha tersebut belum segera terwujud diantaraya adalah :

Atas inisiatif Syungkono disarankan agar meminta tanah milik Pemerintah Kotamadya Surakarta yang tidak dipakai. Kemudian melalui GKJ Margoyudan memohon kepada pemerintah daerah Kodya Surakarta, agar tanah bekas kuburan di Guwosari, dapat dipakai sebagai gereja. Petugas gereja yang melaksanakan kepengurusan tanah tersebut adalah Pdt. Suwardi, SmTh, Widodo, dan Prabowo Darsinto.

Surat Permohonan untuk meminta tanah bekas pekuburan agar dapat dipakai sebagai gereja, adalah nomor : 487/E.6/GKJM/86 tertanggal 7 Oktober 1986, mendapat jawaban dari Walikotamadya Dati II Surakarta No. 593/217, tanggal 12 November 1986, bahwa tanah tersebut akan dipergunakan oleh pemerintah.

Kemudian Majelis GKJ Margoyudan mencoba memohon tanah milik YAKKUM Pusat di kompleks Rumah Sakit Dr. Muwardi (Jebres), tepatnya dibelakang dapur Rumah Sakit Jebres. Namun juga mendapat jawaban yang sama, karena tanah tersebut di bawah wewenang Gubernur Jawa Tengah

III. DARI KELOMPOK KEBAKTIAN MENJADI PEPANTHAN. 1988-2001

Baru tahun 1989 permohonan tanah bekas kuburan Kandangsapi (Randu alas), Tanah dengan luas kurang lebih 600 M2 terletak di kampung Kandangsapi RT.01/RW. 35 Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres dikabulkan oleh Walikotamadya DATI II Surakarta H.B. Hartomo. Dalam mewujudkan berdirinya pepanthan dari kelompok Kebaktian Jebres tidak hanya kekuatan tunggal warga Jebres, namun juga didukung dan dipengaruhi oleh beberapa faktor :

Internal :

  • Beberapa Majelis GKJ Margoyudan adalah warga Jebres, namun di wilyah Jebres tidak ada kegiatan sama sekali, dengan dasar dan dorongan itu menginginkan berdirinya pepanthan di wilayah Jebres.
  • Ada dukungan dari Majelis GKJ Margoyudan.
  • Pertambahan dan pertumbuhan warga kelompok kebaktian sangat pesat, sebagian besar adalah warga Adi Yuswa yang membutuhkan pemeliharaan iman secara khusus.
  • Agar efisien yaitu jarak ke tempat ibadah agar lebih dekat dan terjangkau dengan berjalan kaki.
  • Ada kesediaan warga jemaat (suminto) yang meminjamkan uang sebesar Rp. 6000.000, - untuk membeli tanah bekas kuburan milik pemerintah. Sedangkan untuk pengembalian dana pinjaman tersebut menggunakan Agunan Sertifikat Tanah milik Soemarsono Mitro dan Sertifikat Tanah milik Soeradi .
  • Tercatat pula dinamika para pemuda GKJ Margoyudan yang mengadakan Aksi Pengumpulan Dana melalui “celengan”. Hasilnya digunakan untuk pembuatan pondasi.
  • Selain itu melalui Kegiatan Pentas Seni, para pemuda Pepanthan Kandangsapi juga mengadakan pengumpulan dana dan itu diwujudkan menjadi pagar gereja.

Eksternal

Pemerintah daerah Kodya Surakarta, yang memberikan tanah bekas kuburan untuk dipakai sebagai gereja dengan beberapa ketentuan diantaranya :

Memberikan ganti rugi kepada Pemerintah Kota madya Surakarta sebesar Rp. 6.000.000 dalam waktu 1 minggu.

Apabila diatas tanah yang dimaksud terdapat suatu masalah maka penyelesaiannya menjadi tanggung – jawab Pemohon berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku.

Permohonan Hak atas tanah kepada Pemerintah di proses melalui Kantor Pertanahan Kotamadya Dati II Surakarta.

Pembangunan di atas tanah dimaksudkan harus mendapat ijin bangunan dari Pemerintah Kotamadya Dati II Surakartaa.

Dalam jangka paling lambat 1 (satu) tahun terhitung dari surat ini untuk segera dilaksanakan pembangunannya.

Penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan diatas mengakibatkan dicabutnya persetujuan ini.

Pencarian dana juga dilakukan ke Mentri Sosial, yang kala itu dijabat Prof. Dr. Haryati Soebadio dapat membuahkan hasil.

Peletakan batu pertama sebagai awal dimulainya pembangunan Gereja Kristen Jawa Jebres dapat dilaksanakan pada hari Sabtu 5 Mei 1990, oleh Walikotamadya Dati II Surakarta H.B. Hartomo

Reinterpretasi :

Mengingat pada point ke 5, bahwa paling lambat 1 (satu) tahun terhitung surat permohonan dikabulkan harus segera dibangun, Walikotamadya pada saat itu berharap agar pembangunan terus berlangsung tidak berhenti untuk menjaga ada pihak lain yang menentang pembangunan itu, maka jemaat Jebres beserta Majelis GKJ Margoyudan berusaha untuk sesegera mungkin mewujudkan pembangunan gereja. Dengan semangat untuk bertumbuh, maka jemaat dan pengurus, terus mengupayakan agar Kelompok Kebaktian menjadi sebuah Pepanthan. Dukungan dari Majelis GKJ Margoyudan sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Untuk menetapkan secara resmi pepanthan Kandangsapi wilayah pelayanan GKJ Margoyudan Surakarta, maka Majelis Gereja Kristen Jawa Margoyudan Surakarta, yang diketuai Pdt. Winoto Hadikusumo, membuka peresmian Pepanthan Kandangsapi. Tentang kepengurusan dapat dilihat pada lampiran 2.

IV. PENDEWASAAN GEREJA PEPANTHAN KANDANGSAPI MENJADI GKJ JEBRES tahun 2002

Beberapa hal mendasar yang menjadikan Pepanthan Kandangsapi ingin tumbuh menjadi Gereja dewasa dengan nama GKJ Jebres diantaranya :

Sesuai dengan berjalannya waktu, maka Gereja Kristen Jawa Pepanthan Kandangsapi terus bertumbuh menjadi Pepanthan yang aktif.Dalam pelayanan Injil proses penggembalaan berjalan dengan lancar, hal ini terlihat dari rapat Pleno GKJ Pepanthan Kandangsapi tanggal 8 Januari 2002, yang berhasil menetapkan pengurus baru Pepanthan Kandangsapi. Lihat Lampiran 3.

Pepanthan Kandangsapi mempunyai motivasi yang sehat sesuai dengan nilai-nilia kristiani, yaitu bukan karena perpecahan atau ada persoalan dengan GKJ Margoyudan sebagai gereja induk.

Mempunyai bertujuan demi perkembangan gereja yang baik baik dalam penatalayanan maupun pemeliharaan iman warga jemaat.

Dan juga telah mempunyai kemampunan untuk memerintah diri sendiri hal itu bisa dilihat pada penatalayanan yang semakin lengkap, dan juga kemampuan membiayai diri sendiri berdasarkan Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja

Telah mempunyai jumlah warga gereja lebih dari 150 orang

Sudah memiliki tempat ibadah representative yang dapat menjamin keberlangsungan pelaksanaan ibadah.

Setelah persyaratan sudah memadai maka GKJ Margoyudan mengusulkan pada Sidang Klasis agar Pepanthan Kandangsapi untuk di dewasakan.

Pada tanggal 28 Oktober 2002, Majelis Gereja Kristen Jawa Margoyudan, menetapkan bahwa GKJ Pepanthan Kandangsapi, menjadi gereja yang dewasa dengan nama GKJ Jebres. GKJ Jebres merupakan gereja pepathan margoyudan ke 6 yang didewasakan oleh GKJ Margoyudan, GKJ Nusukan 1969, GKJ Gandekan Solo Timur 1974, GKJ Bibis Luhur 1974, GKJ Dagen Palur 1984, GKJ Imanuel 1996, dan GKJ Jebres 2002.

Lampiran 1

Majelis GKJ Margoyudan mengangkat dan menetapkan pengurus Kelompok Kebaktian Jebres, dengan masa bakti 2 tahun, mulai tanggal 27 Pebruari 1987 s/d tanggal 26 Pebruari 1989.

Adapun Susunan pengurus Kelompok Kebaktian Jebres adalah sbb:

Pembina : Pendeta Pembina Wilayah Jebres

Penasehat : Bp. Sastro Kasmoyo

Bp. Samsuri Purwoatmojo

Ketua I : Bp. Rusmarwan

Ketua II : Bp. Sumarsono Mitro

Penulis I : Bp. Prabowo Darsinto

Penulis II : Bp. Budiyadi

Bendahara I : Bp. Suwandi PU

Bendahara II : Bp. Drs. Sunardi

Seksi-Seksi

Keesaan : Bp. S. Hadi Sujtipto

Bp. Drs. Y. Desen

Bp. Sonny Soemadi

Bp. Widodo

Kesaksian : Bp. Sastro Kasmoyo

Bp. Pujo Hartono

Pangrimat : Bp. Sunardi

Bp. Sumadi

Sdr. Gurindo

Sekolah Minggu : Sdr. Herman Priyadi

Sdri. Hartini

Wanita : Ibu Siti Rochani

Ibu Kasmoyo

Pemuda : Sdr. Winengku

Sdri. Sri Wahyuni

Remaja : Sdr. Satdo Kurnianto

Sdri. Surati

Dengan adanya Surat Keputusan Majelis No. 92/F6/GKJM/II/1967, maka Kelompok Kebaktian Jebres menyampaikan surat permohonan, tertanggal 19 Maret 1987 kepada Majelis GKJ Margoyudan, yang intinya :

  1. Majelis GKJ Margoyudan berkenan meresmikan berdirinya Kelompok Kebaktian Jebres Surakarta, pada tanggal 5 April 1987.
  2. Kebaktian pertama nanti mohon dilayankan oleh Bapak Pendeta Suwardi, SmTh, dikarenakan Bapak Suwardi adalah pembina Wilayah Jebres.
  1. Bahwa dengan kasih karunia Tuhan Yesus Kristus Raja Gereja. Pada hari ini Minggu tanggal 5 April 1987 jam 09.00 WIB, telah dibuka dan diresmikan Kelompok Kebaktian Jebres, yaitu Wilayah Pelayanan GKJ Margoyudan yang meliputi kelompok-kelompok :

Kelompok Jebres 1

Kelompok Jebres 2

Kelompok Jebres 3

Kelompok Jebres 4

Kelompok Jebres 5

Kelompok Jebres 6

Kelompok Jebres 7

Kelompok Jebres 8

Kelompok Jebres 9

Kelompok Jebres 10

dengan nama : GEREJA KRISTEN JAWA MARGOYUDAN

KELOMPOK KEBAKTIAN JEBRES.

  1. Bahwa kelompok kebaktian Jebres adalah menjadi bagian dari wilayah Pelayanan GKJ Margoyudan Surakarta.
  1. Bahwa pengaturan, pelayanan dan pengembalaan bagi semuaa Warga Gereja di kelompok-kelompok tersebut di atas, mulai sejak di buka dan diresmikan kelompok Kebaktian Jebres ini, kewenangannya tetap berada pada Majelis GKJ Margoyudan Surakarta.
  2. Demi kelancaran pelayanan gerejawi, Majelis GKJ Margoyudan dapat mendelegasikan beberapa tugas dan kewenangan gerejawi kepada Kelompok Kebaktian, sesuai dengan peraturan Gereja yang berlaku di GKJ Margoyudan.
  1. Perubahan-perubahan atas keputusan hanya dapat dilakukan berdasar-kan Keputusan yang berlaku di GKJ Margoyudan Surakarta.
  1. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
  1. Tuhan raja gereja selalu memberkati pelayanan kita.



Sakramen Baptisan Anak

“Mengapa Anak-anak Perlu Dibaptis?”


Pertanyaan di atas mungkin mengusik perhatian kita. Apalagi dalam perjumpaan dengan saudara-saudara kita dari beberapa denominasi gereja yang lain di mana ada sebagian dari mereka yang “tidak mengenal” sakramen baptisan anak (baca: menganggap tidak perlu, tidak Alkitabiah, tidak memiliki dasar yang kuat) dan sebagian lagi memberlakukan penyerahan anak. Untuk itulah kita perlu mempelajari dan merenungkan kembali topik ini, supaya kita dapat semakin memahami sakramen tersebut dengan lebih baik.


1. “Warisan” Gereja Mula-mula

Christiaan de Jonge dalam bukunya Apa Itu Calvinisme? Mengungkapkan bahwa pada waktu para Reformator mereformasi gereja, mereka tidak mengubah kebiasaan yang dipegang gereja sejak zaman Perjanjian Baru untuk membaptis anggota-anggota gereja yang baru. Dari gereja sebelumnya mereka mengambil alih saja baptisan anak-anak, yang sudah lama diterima di gereja dan hanya mereformasi liturgi baptisan sejauh dianggap perlu.


Ada sumber yang mengungkapkan bahwa pada abad ke-2, pembaptisan anak-anak sudah berlangsung, tetapi tidak sering. Hal ini disebabkan oleh pandangan kebanyakan orang Kristen pada saat itu bahwa dengan pelayanan baptisan anak-anak, maka seolah-olah sakramen itu dianggap enteng atau kurang dihargai. Pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan moralistis (pandangan bahwa manusia harus mengerjakan keselamatannya dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu) mengenai hubungan antara rahmat Allah dan perbuatan manusia. Namun pada abad ke-5 dan ke-6 baptisan anak-anak mulai dilakukan secara umum.


Sementara itu, istilah sakramen (berasal dari bahasa Latin sacramentum, yang berarti “sumpah” atau “suatu tindakan agamawi yang mengikat orang yang melakukannya di depan Tuhannya”) mulai dipakai dalam bahasa gereja untuk mewadahi tindakan-tindakan gerejawi seperti baptisan dan perjamuan kudus. Definisinya sulit diberikan, karena berkait erat dengan pemahaman yang dipegang orang tentang apa yang terjadi dalam baptisan, maupun perjamuan kudus, juga upacara-upacara yang sejenis. Menurut Augustinus (teolog abad pertengahan), sakramen adalah tanda yang kelihatan dari hal yang kudus atau bentuk yang kelihatan dari kasih karunia yang tidak kelihatan. Dari definisi ini jelas bahwa melalui upacara gerejawi tersebut kasih karunia Allah diberikan kepada mereka yang menerimanya.


2. Pengganti Sunat

Sunat yang menjadi tanda perjanjian Allah di dalam Perjanjian Lama (PL) telah diganti dengan baptisan di dalam Perjanjian Baru (PB). Penggantian ini harus kita lihat dari sejarah penyelamatan Allah. Di dalam sejarah penyelamatan tersebut Tuhan Yesus menjadi penggenap janji Tuhan Allah. Ia juga telah memenuhi ketentuan mengenai sunat dengan pengorbanan diri-Nya di kayu salib. Oleh karena itu, Ia berhak mengganti sunat dengan baptisan, sebagai tanda perjanjian Allah di dalam PB.


Memang di dalam PB tidak kita jumpai perintah untuk membaptiskan anak-anak. Namun PB menunjukkan adanya orang-orang yang dibaptis dengan seisi rumahnya (lih. Kis 11:14; 16:15,31; 18:8; 1 Kor 1:16). Namun yang menjadi dasar pelaksanaan sakramen baptisan anak-anak memang bukanlah ayat-ayat tersebut, juga bukan iman anak yang dibaptis, melainkan ajaran tentang perjanjian Tuhan Allah yang diberikan kepada orang tua dan anak-anak mereka.


Pada hari raya Pentakosta Rasul Petrus berkhotbah, supaya orang bertobat dan dibaptis. Sebagai alasan dikemukakan: “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu” (Kis 2:38-39). Ayat ini memang tidak mengatakan bahwa anak-anak harus dibaptiskan. Tetapi jelas diungkapkan bahwa anak-anak juga terhisap di dalam perjanjian Allah. Oleh karena di dalam PL anak-anak Israel menerima tanda perjanjian, maka anak-anak orang beriman di dalam PB juga harus menerima tanda perjanjian, yaitu dibaptiskan. Yang dipentingkan di sini ialah perjanjian Allah. Itu sebabnya, baptisan anak-anak sama nilainya dengan sunat bagi anak-anak Israel.


Sekalipun alasan pokok di dalam baptisan anak-anak bukanlah soal iman, namun di dalam baptisan anak-anak soal iman juga diperhatikan. Dengan baptisannya, jalan iman terbuka lebar bagi anak-anak orang beriman. Karena baptisannya, hidup anak-anak itu harus ditandai oleh ketaatan di dalam iman. Memang yang menghubungkan anak-anak itu dengan baptisannya bukan imannya sendiri, melainkan iman orang tua mereka. Karena iman orang tua itulah, maka anak-anak dihubungkan dengan perjanjian Allah dan dengan tanda perjanjian-Nya. Iman dan hidup anak-anak ditanamkan di dalam Sang Kristus, karena iman dan hidup orang tua mereka telah terlebih dahulu ditanamkan di dalam Sang Kristus. Hal yang demikian tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan Allah. “Jikalau roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan juga kudus” (Rm 11:16).


3. Salah Satu Ciri Gereja Calvinis

Alkitab memperlihatkan bahwa baptisan pertama-tama menunjuk kepada pembersihan dari dosa yang kita peroleh dari penebusan Sang Kristus, dan selanjutnya kepada upaya mematikan keinginan kedagingan supaya kita dapat turut mengambil bagian di dalam kematian-Nya. Olehnya orang-orang percaya lahir kembali, sehingga kehidupannya dibaharui dan mereka memperoleh persekutuan dengan Kristus.


Bagi gereja-gereja Calvinis sakramen dipahami sebagai pemberian Allah, bukan sekedar tindakan pengakuan manusia. Sakramen adalah “suatu tanda lahiriah (symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji akan kerelaan-Nya terhadap kita” dengan maksud untuk memperkuat iman dan mengundang respons manusia. Dari definisi ini jelas bahwa prakarsa dalam sakramen ada pada Allah, tetapi bahwa segi pengakuan iman oleh manusia ditekankan pula. Sakramen tidak berarti apa-apa apabila terlepas dari pemberitaan firman. Tanpa penjelasan tentang apa yang dijanjikan Allah, tidak ada sesuatu untuk dilambangkan atau dimeteraikan. Yang menjadikan sakramen sesuatu yang dapat memperkuat iman adalah Roh Kudus. Sama seperti kata-kata bisa dipakai oleh Roh Kudus untuk menggerakkan hati manusia untuk percaya, juga sakramen dipakai sebagai sarana untuk menguatkan iman.


Baptisan juga menjadi tanda bahwa kita diterima masuk dalam persekutuan gereja. Dalam definisi ini baptisan dihubungkan dengan keanggotaan gereja. Melalui baptisan anak-anak, iman para orang tua diperkuat, karena dinyatakan dengan tanda yang kelihatan bahwa kesetiaan Allah berlaku juga untuk anak-anak mereka. Sementara itu, bagi anak-anak sendiri baptisan itu sangat berguna, sebab sejak dini mereka telah dimasukkan dalam persekutuan gereja. Dengan demikian, iman mereka dapat dibina sejak awal.




Daftar Pustaka:

1. Calvin, Yohanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.

2. End, Th. van den. Harta Dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.

3. Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.

4. Jonge, Christiaan de. Apa Itu Calvinisme? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998.

STOLA

Stola adalah pakaian (vestimentum) liturgis dari berbagai denominasi Kristen. Stola berupa sehelai selempang kain dengan bordiran, dulunya berbahan dasar sutera, panjangnya sekitar tujuh setengah sampai sembilan kaki dan selebar tiga sampai empat inci, makin ke ujung makin lebar.


Etimologi dan sejarah
Kata Latin stola berasal dari kata Yunani στολη (stolē), "pakaian", arti aslinya adalah "tatanan" atau "kelengkapan".

Stola mula-mula merupakan semacam syal yang dikenakan untuk menutupi bahu dan menjuntai di bagian depan tubuh; syal yang dikenakan kaum wanita memang sangat besar ukurannya. Setelah dialihgunakan oleh Gereja Roma sekitar abad ke-7 (stola juga telah dipergunakan oleh Gereja-gereja lokal lain sebelumnya), bentuk stola makin lama makin menyempit dan dipenuhi hiasan karena stola dikembangkan menjadi semacam tanda kehormatan. Kini stola biasanya lebih lebar dan dapat dibuat dari berbagai jenis bahan.

Ada banyak teori mengenai "leluhur" stola. Ada yang berpendapat bahwa stola berasal dari tallit (mantel sembahyang Yahudi), karena kemiripannya dengan tata cara penggunaan tallit saat ini (pemimpin ibadah Yahudi mengerudungi kepalanya dengan tallit pada saat memimpin doa), tetapi teori ini sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Teori yang lebih populer adalah bahwa stola berasal dari semacam kain lap liturgis yang disebut orarium dan sangat mirip dengan sudarium. Kenyataanya, di banyak tempat stola disebut orarium. Oleh karena itu stola dihubung-hubungkan dengan kain lap yang digunakan Yesus tatkala membasuh kaki murid-muridNya, dan merupakan simbol yang tepat bagi kuk Kristus, yakni kuk pelayanan.

Bagaimanapun, "leluhur" stola yang mungkin paling dekat adalah syal jabatan yang dikenakan para pejabat Kekaisaran Romawi. Ketika kaum klerus menjadi angota badan administrasi Romawi, mereka pun menerima tanda kehormatan yang sama, yang merupakan penanda jenjang jabatan dalam hirarki kekaisaran (dan Gereja). Pelbagai konfigurasi stola (termasuk pallium atau omoforion) berasal dari penggunaan syal jabatan ini. Maksud aslinya adalah sebagai tanda pengenal seseorang dalam organisasi tertentu dan untuk untuk menunjukkan pangkat orang tersebut dalam kelompoknya, fungsi inilah yang masih diteruskan oleh stola hingga hari. Jadi, tidak seperti busana liturgis lain yang awalnya dikenakan baik oleh klerus maupun awam, stola merupakan busana yang dikhususkan untuk dikenakan oleh kelas masyarakat tertentu berdasarkan pekerjaannya.


Penggunaan
Katolik Roma
Dalam Gereja Katolik Roma, stola adalah vestimentum yang menandai penerimaan sakramen imamat. Stola diberikan dalam pentahbisan menjadi diakon, yang dengannya seseorang menjadi anggota klerus (kaum tertahbis). Uskup dan imam mengenakan stola dengan cara menyampirkannya pada tengkuk dan membiarkan dua ujungnya menjuntai di bagian depan, sedangkan diakon menyampirkannya pada bahu kiri dan menyilangkan kedua ujungnya di pinggul kanan. Pada masa ketika Misa Tridentina masih digunakan, para imam yang bukan uskup menyilangkan stola di dada (lihat gambar kanan bawah), tetapi dalam Misa atau upacara-upacara lain dikenakan pula kasula atau kap. Kini stola dikenakan dengan membiarkan kedua ujungnya menjuntai lurus (Petunjuk Umum Misa Romawi, 340). Pada kesempatan-kesempatan istimewa, Sri Paus mengenakan, sebagai bagian dari pakaian seragamnya, semacam stola khusus yang penuh hiasan serta diberi lambang pribadinya.


Anglikan
Demikian pula halnya, dalam Gereja-gereja Komuni Anglikan, stola diberikan pada saat seseorang ditahbiskan menjadi diakon serta disampirkan pada pundak. Dalam pentahbisan imam, sang imam yang baru saja ditahbiskan tersebut menyampirkan stola pada tengkuk dengan kedua ujungnya menjuntai di depan, baik menjuntai lurus atau dengan cara tradisional yakni disilangkan. Klerus injili yang berkeberatan mengenakan stola karena alasan hati nurani, mengikuti praktik reformasi yakni mengenakan syal khotbah (preaching scarf).


Protestan
Dalam gereja-gereja Protestan, stola sangat sering dipandang sebagai lambang tahbisan dan jabatan pelayanan Firman dan Sakramen. Stola kerap diberikan oleh jemaat (kadang kala berupa stola buatan tangan atau stola yang diberi hiasan) sebagai hadiah pada saat pentahbisan atau perayaan peringatan tahbisan seseorang. Umumnya klerus protestan mengenakan stola dengan aturan yang sama dengan imam Anglikan atau imam Katolik Ritus Latin yakni disampirkan pada tengkuk dan membiarkan kedua ujungnya menjuntai pada dada (dan tidak disilangkan). Stola secara umum dikenakan oleh para petugas pelayanan yang tertahbis dalam Gereja Lutheran, Gereja Methodis, Presbiterian, dan beberapa denominasi protestan lainnya.

Dalam Gereja Lutheran Injili di Amerika (ELCA, Evangelical Lutheran Church in America), hanya para uskup dan pastor yang mengenakan stola karena hanya merekalah yang menerima tahbisan, yakni stola imam, karena dalam tradisi Lutheran jabatan uskup bukanlah suatu tahbisan tersendiri melainkan hanya suatu jabatan tertentu saja. Para petugas pelayanan diakonal ELCA (setara dengan diakon) umumnya tidak mengenakan stola, namun kadangkala mengenakan stola diakon tradisional pada saat menjalankan fungsi liturgis tradisional selaku diakon.
Dalam Gereja Persatuan Methodis di Amerika Serikat (United Methodist Church), para diakon mengenakan stola dengan cara yang sama seperti diakon-diakon dalam tradisi Anglikan dan Katolik Ritus Latin. Seorang penatua yang tertahbis mengenakan stola dengan cara yang sama dengan imam-imam Anglikan dan Katolik Ritus Latin, karena jabatan penatua dalam gereja ini setara dengan jabatan imam dalam Gereja Anglikan atau Katolik.


Simbolisme dan warna

Stola beserta sinktura dan manipel, melambangkan ikatan dan rantai yang membelenggu Yesus dalam jalan sengsaraNya; stola biasanya diberi hiasan berbentuk salib. Versi lain mengatakan bahwa stola melambangkan tugas memberitakan Firman Allah.

Warna-warna stola dan vestimentum lainnya dalam Gereja Katolik Roma tercantum dalam Petunjuk Umum Buku Misa Romawi (Missale Romanum), 346. Warna putih digunakan dalam masa Paskah dan Natal serta hari-hari raya yang bukan hari peringatan martir; merah untuk hari Minggu Palma, Jumat Agung, dan hari Minggu Pentakosta, serta hari-hari peringatan orang-orang kudus yang wafat sebagai martir; hijau untuk masa biasa (antara masa Natal dan masa Prapaskah, serta antara masa Paskah dan masa Adven). Lembayung (seringkali dicampuradukkan dengan warna ungu) untuk masa Adven dan masa Prapaskah, serta dapat digunakan dalam Misa bagi orang yang telah meninggal dunia. Di tempat-tempat yang lazim menggunakannya, warna merah muda (pink) dapat digunakan untuk hari Minggu ke-3 dalam masa Adven dan hari Minggu ke-4 dalam masa Prapaskah, karena hari Minggu ke-3 dalam masa Adven disebut hari Minggu Gaudete dan hari Minggu ke-4 dalam masa Prapaskah disebut hari Minggu Laetare; kata-kata Latin tersebut berarti "bersukacitalah", dan perubahan warna yang digunakan melambangkan "selingan" dalam penintensi selama masa penggunaan warna lembayung. Demikian pula, di tempat-tempat yang lazim menggunakannya, warna hitam digunakan dalam Misa bagi orang yang telah meninggal dunia. Meskipun demikian, Konferensi Waligereja, dengan persetujuan Tahta Suci, boleh menyesuaikan aturan-aturan ini dengan tradisi-tradisi nasional, seperti misalnya, di negara-negara yang menggunakan warna putih sebagai warna perkabungan.

Komuni Anglikan dan Gereja Lutheran Injili di Amerika menggunakan warna-warna utama yang sama (putih, merah, hijau, dan ungu), namun sering pula menggunakan warna biru sebagai ganti ungu untuk masa Adven (melambangkan langit malam hari atau Perawan Maria), merah-keunguan (Komuni Anglikan) atau merah-kirmizi (Gereja Lutheran Injili di Amerika) digunakan selama Pekan Suci. Hitam, warna umum dalam kebanyakan denominasi, melambangkan perkabungan, mulanya digunakan pada hari Jumat Agung dan upacara pemakaman, akan tetapi sejak tahun 1960-an, hitam tergantikan oleh putih. Dalam keadaan-keadaan tertentu, warna hitam tetap digunakan untuk upacara pemakaman dalam beberapa upacara pemakaman Anglikan (misalnya dalam pemakaman Ratu Elizabeth, "Queen Mother"), Sedangkan Gereja Lutheran Injili di Amerika menggunakan warna hitam hanya untuk ibadah hari Rabu Abu, dan sebagai warna selubung salib pada hari Jumat Agung. Sebagai aturan, tata cara Anglikan umumnya identik dengan tata cara Katolik Roma.


Stola dalam Gereja-gereja Timur
Dalam Gereja-gereja Timur, stola dikenal sebagai epitrakhelion (dikenakan oleh imam atau uskup) dan orarion (dikenakan oleh diakon atau subdiakon). Stola milik imam berupa sehelai selempang yang disampirkan pada tengkuk, dan kedua ujungnya dibiarkan menjuntai di bagian depan, kedua sisi stola yang bertemu di bagian depan disatukan dengan jahitan. Protodiakon atau diakon agung menyampirkan stolanya pada pundak kiri lalu disilangkan pada pinggul kanan, sedangkan diakon menyampirkannya pada pundak kiri dan membiarkan kedua ujungnya menjuntai bebas di sisi kiri. Dua cara tersebut hanya dapat dijumpai dalam Gereja-gereja Ortodoks yang paling tradisional. Dalam kebanyakan tradisi Timur, hanya cara pertama yang digunakan, kecuali jika diakon yang bersangkutan hanya mengenakan eksorasson (jubah luar) maka orarion disampirkan ganda pada bahu kiri. Subdiakon menyampirkan orarion-nya pada kedua pundak lalu disilangkan di belakang dan depan. Orang-orang yang bertindak selaku subdiakon menyilangkan orarion hanya pada bagian belakang agar menunjukkan bahwa mereka tidak ditahbiskan.


Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Stola"
No posts.
No posts.

blogger templates 3 columns | Make Money Online